Ramadhan Bulan Taubat
Ramadhan Bulan Taubat
Selain
dikenal sebagai syahrul shiyam, syahrush shabr, syahrul Qur’an dan syahrul
jihad, Ramadhan juga dikenal sebagai syahrut taubah. Ramadhan bulan taubat.
Sebab Ramadhan memang momentum yang tepat untuk bertaubat.
Sebaik-baik
taubat adalah taubat yang segera, tanpa menunggu dan menunda-nunda. Maka
terkumpullah dua keutamaan jika kita bertaubat saat ini: keutamaan karena
Ramadhannya dan keutamaan karena menyegerakan taubat.
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ
Dan
bersegeralah menuju ampunan Tuhanmu … (QS. Ali Imran: 133)
Allah
Gembira saat hamba-Nya bertaubat
Allah
Subhanahu wa Ta’ala menyeru kita dengan ayat di atas untuk menyegerakan taubat.
Juga dalam ayat lainnya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً
نَصُوحًا
Wahai
orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat nasuha. (QS.
At-Tahrim: 8)
Allah
menyeru hamba-Nya untuk bersegera bertaubat karena Dia menghendaki hamba-Nya
mendapatkan ampunan dan surga.
Allah
sangat sayang kepada hamba-Nya. Dibukakan pintu taubat. Diserunya kita menuju
ampunan dan surga-Nya. Allah sangat gembira saat hamba-Nya bertaubat.
Apapun
dosa kita, bertaubatlah
Ada
dua titik ekstrem bagi orang yang berdosa. Ekstrem pertama adalah mereka yang
merasa dosanya terlalu besar hingga putus asa dari ampunan Allah. Maka, ia pun
tidak kunjung bertaubat karena kekhawatiran taubatnya tidak diterima.
Ekstrem
kedua adalah mereka yang merasa dosa-dosanya mudah terhapus. Merasa
dosa-dosanya hanya dosa kecil. Sehingga membuatnya berlarut-larut dalam dosa
demi dosa. Kalaupun bertaubat, ia hanya melakukan taubat sambal. Sekarang
berhenti, besok kembali mengulangi. Tak pernah sungguh-sungguh melakukan taubat
nasuha.
Untuk
ekstrem pertama, lihatlah bagaimana seorang yang telah membunuh 99 nyawa. Saat
ia bertanya kepada seorang ahli ibadah apakah ada kesempatan bertaubat,
ternyata dijawab tidak bisa. Lalu ia pun dibunuh sebagai orang ke-100 yang mati
di tangannya.
Niatnya
bertaubat tidak berhenti. Ketika bertemu seorang alim, ia pun mengajukan
pertanyaan serupa. Oleh sang alim ini dijawab kalau dosanya bisa diampuni. Dan
sebagai upaya taubat nasuha, ia dianjurkan hijrah ke suatu daerah yang kondusif
bagi taubatnya.
Di
tengah perjalanan, ia meninggal. Hingga berdebatlah malaikat rahmat dan
malaikat azab, orang ini menjadi urusan siapa. Lalu datanglah malaikat lain
yang diutus Allah untuk menyelesaikan perselisihan itu. “Ukurlah jarak kedua
tempat tersebut. Mana yang jaraknya lebih dekat, apakah tempat maksiat atau
tempat hijrahnya, maka ia yang berhak atas orang ini.”
Ketika
diukur jaraknya, ternyata ia lebih dekat ke tujuan hijrah. Hingga ruhnya pun
menjadi urusan malaikat rahmat. Dalam riwayat lain disebutkan, Allah
memendekkan jarak laki-laki itu dengan tujuan hijrah.
Contoh
lain dialami oleh seorang wanita dari Juhanah. Ia mengaku telah berzina dan
kini ia hamil. Wanita itu bertaubat dan meminta ditegakkan hudud (rajam)
atasnya. Rasulullah menyuruh wanita itu kembali untuk menjaga kandungannya
sampai bayinya lahir. Setelah berselang beberapa lama dan bayinya telah lahir,
wanita itu datang lagi meminta dirajam. Akhirnya ia dirajam. Rasulullah
menshalatkan jenazahnya.
“Ya
Rasulullah, engkau menshalatinya padahal ia telah berbuat zina?” tanya Umar bin
Khatab meminta penjelasan. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ قُسِمَتْ بَيْنَ سَبْعِينَ مِنْ أَهْلِ
الْمَدِينَةِ لَوَسِعَتْهُمْ وَهَلْ وَجَدْتَ تَوْبَةً أَفْضَلَ مِنْ أَنْ جَادَتْ
بِنَفْسِهَا لِلَّهِ تَعَالَى
Sungguh
dia telah bertaubat. Seandainya taubatnya dibagikan kepada 70 penduduk Madinah,
taubat itu pasti mencukupinya. Apakah kamu menjumpai seseorang yang lebih utama
daripada seorang yang mengorbankan dirinya untuk Allah Ta’ala? (HR. Muslim)
Karenanya,
apapun dosa kita, kita segera bertaubat. Kita perbanyak membaca istighfar.
Pembagian
dosa
Imam
Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menyebutkan sifat-sifat pembangkit dosa yang
kemudian diringkas oleh Ibnu Qudamah dalam Mukhtashar Minhajul Qashidin.
Menurut beliau, sifat pembangkit dosa dibagi menjadi empat:
1. Sifat rububiyah (ketuhanan). Dari
sini muncul takabur, membanggakan diri, mencintai pujian dan sanjungan, mencari
popularitas, dan lain sebagainya. Ini termasuk dosa-dosa yang merusak, sekalipun
banyak orang yang melalaikannya dan menganggap bukan dosa
2. Sifat syaithaniyah (kesetanan). Dari
sini muncul kedengkian, kesewenang-wenangan, menipu, berdusta, makar,
kemunafikan, menyuruh pada kerusakan, dan lain-lain.
3. Sifat-sifat bahamiyah (kebinatangan).
Dari sini muncul kejahatan, memenuhi nafsu perut dan syahwat kemaluan, zina,
homoseks, mencuri, dan lain-lain.
4. Sifat sabu’iyah (kebuasan). Dari sini
muncul amarah, dengki, menyerang orang lain, membunuh, merampas harta, dan
lain-lain.
Di
antara empat sifat itu, penjenjangannya bermula dari bahamiyah. Bahamiyah
yang dominan lalu diikuti oleh sabu’iyah, kemudian syaithaniyah
dan rububiyah.
Dari
keempat jenis itu, menurut sasarannya, dosa dibagi menjadi dua, yakni dosa yang
berkaitan dengan hak Allah dan dosa yang berkaitan dengan hak sesama manusia.
Dosa yang berkaitan dengan hak Allah ada yang diampuni dan ada yang tidak
diampuni. Yang tidak diampuni adalah dosa syirik, sementara dosa yang lain akan
diampuni oleh Allah, jika Dia Menghendaki.
Sedangkan
dosa kepada sesama manusia akan diampuni oleh Allah jika hak itu telah
dihalalkan atau ditegakkan qishash atasnya di akhirat nanti.
Yang
paling umum, biasanya dosa dibagi menjadi dua: dosa besar dan dosa kecil. Jika
kita telusuri hadits, dosa besar yang biasa disebutkan adalah syirik, sihir,
riba, makan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh wanita
mukminah yang baik sebagai pezina. Tujuh jenis dosa besar ini diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dan Imam Muslim. Sedangkan dalam riwayat Imam Bukhari yang lain
disebutkan durhaka kepada orang tua termasuk dosa besar, sedangkan dalam
riwayat Imam Muslim yang lain disebutkan pula perkataan atau kesaksian palsu.
Ibnu
Qudamah dalam Mukhtashar Minhajul Qashidin menyebutkan pendapat Abu Thalib
Al-Makki yang merinci dosa besar menjadi 17 jenis. Empat jenis di hati: syirik,
fasiq, putus asa dari rahmat Allah, dan merasa aman dari tipudaya-Nya. Empat
jenis di lisan: kesaksian palsu, menuduh wanita mukminah, sumpah palsu, dan
sihir. Tiga di perut: minum khamr, memakan harta yatim, dan riba. Dua di
kemaluan: zina dan homoseks. Satu di kaki: lari dari medan perang. Dan satu di
seluruh badan: durhaka pada orang tua.
Imam
Adz Dzahabi menulis kitab Al Kabair. Dosa-dosa besar. Dalam kitab itu dijelaskan
ada 70 dosa besar.
Jangan
remehkan dosa kecil
Seringkali
kita terjebak pada sikap meremehkan dosa kecil. Saat kita ghibah, bercanda yang
sudah masuk kategori rafats (porno), bahkan bergaul dengan lawan jenis yang
tidak islami, kita beralasan “itu kan dosa kecil, tidak apa-apa”.
Padahal
orang yang meremehkan dosa ia tidak sadar sedang berhadapan dengan siapa.
Siapakah yang ia maksiati? Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Besar dan Maha
Keras adzab-Nya. Juga, tidak ada dosa kecil jika dilakukan terus menerus.
لَا صَغِيْرَةٍ مَعَ الْإِصْرَارِ
Tidak
ada dosa kecil selagi terus dikerjakan. (HR. Dailami)
Ibarat
sebuah bintik noda, dosa kecil pun akan mengotori hati. Semakin banyak dosa
semakin banyak pula noda di hati.
Sesungguhnya,
apabila seorang mukmin berbuat dosa, maka muncul bintik hitam dalam kalbunya.
Kemudian jika ia bertaubat, meninggalkan dosa dan memohon ampun, maka hatinya
bersih. Dan jika dosa-dosanya bertambah, bintik hitam itupun bertambah. (HR.
Ibnu Majah dan Ahmad; hasan)
Mari
taubat sebelum terlambat
Marilah
kita sambut seruan Allah untuk bertaubat sebelum terlambat. Kini Allah
menganugerahkan momentum yang luar biasa kepada kita untuk menjalani taubatan
nasuha.
Ramadhan
yang sangat kondusif dengan amal shalih dan minim pengaruh negatif dibandingkan
bulan lainnya, adalah kesempatan berharga yang belum tentu datang lagi kepada
kita. Bukankah kita tidak pernah bisa menjamin bahwa kita akan tetap hidup
sampai Ramadhan berikutnya jika kita menunda taubat saat ini? Lihatlah betapa
banyak orang yang Ramadhan lalu masih ada, kini sudah tiada.
Marilah
kita sambut seruan Allah untuk bertaubat sebelum kita terlambat. Dan bukankah
pintu taubat akan ditutup saat kita mengalami sakaratul maut?
إِنَّ اللَّهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ
Sesungguhnya
Allah menerima taubat hamba selagi ia belum sekarat. (HR. Tirmidzi, Ahmad,
Thabrani, Ibnu Hibban; hasan)
Sesungguhnya
Allah membentangkan tangan-Nya di malam hari agar orang yang bermaksiat di
siang hari bertaubat, dan Allah membentangkan tangan-Nya di siang hari agar
orang yang berbuat maksiat di malam hari bertaubat. (Demikian itu tetap
terjadi) sampai matahari terbit dari barat. (HR. Muslim)
Syarat
taubat
Imam
An-Nawawi dalam Riyadhus Shalihin memaparkan syarat bertaubat secara singkat
dalam tiga langkah. Pertama, berhenti dari dosa yang dilakukan. Kedua,
menyesali dosa yang telah dilakukan. Dan ketiga, bertekad untuk tidak
mengulangi dosa itu. Ini jika bertaubat terhadap dosa yang berkaitan dengan hak
Allah.
Sedangkan
jika dosa berkaitan dengan hak manusia, maka syarat taubat ditambah satu lagi,
yaitu membebaskan diri dari hak manusia tersebut. Pembebasan ini tentu dengan
penghalalan dari yang terzalimi atau mendapat keikhlasan darinya.
Maka
orang yang minum khamr dalam kesendirian misalnya, untuk bertaubat cukup ia
berhenti minum khamr, menyesalinya, dan tidak mengulanginya. Namun jika
seseorang mencuri harta orang lain, selain tiga langkah tersebut ia harus
mendapat maaf dari orang yang dicuri dengan mengembalikan hartanya atau
mendapatkan kehalalan darinya.
Semoga
Ramadhan yang juga dinamakan syahrut taubah ini kita manfaatkan bersama sebagai
momentum taubatan nasuha. Dan karenanya Allah menganugerahkan ampunan dan
surga-Nya kepada kita. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]
Komentar
Posting Komentar